KISAH NYATA TAMU
BERPAKAIAN SERBA MERAH DI PONDOK THORIQUL JANNAH
Jum’at usai Maghrib
di tahun 2013, di Kediaman Gus Idris tengah berlangsung pengajian rutin JUM’AT
WAGE. Hari itu hujan begitu deras hingga atap rumah Gus Idris yang lama
mengalami kebocoran di sejumlah titik. Ember pun bertebaran disana-sini untuk
menampung tetesan bocor.
Sebagian lantai sudah basah oleh air hujan. Sementara Gus
Idris sedang beristirahat di kamarnya karena hari itu Beliau tak dapat memimpin
pengajian karena kondisi yang kurang sehat.
Tak lama usai pengajian, semua yang hadir pulang ke rumah
masing-masing kecuali sebagian pengurus dan crew majlis serta para santri yang
tengah sibuk mengepel lantai yang banjir akibat bocor. Saat baru saja rampung mengepel dan hendak memindahkan
ember, seorang santri dikejutkan dengan kehadiran seorang pria paruh baya
secara tiba-tiba sudah duduk di teras rumah. Posisi duduknya mirip Tasyahud
awal, pakaian atasnya memakai baju merah dan celana warna merah. Sementara
kepalanya ditutupi caping anyaman bambu.
Setelah diantara santri juga salah satu pengurus dan orang tersebut saling mengucap
dan menjawab salam, santri pun bertanya maksud dan tujuan kedatangan Si Tamu.
“Boleh saya tanya, apa benar disini rumah Gus Idris?” ,tanyanya Si Tamu.
“Boleh saya tanya, apa benar disini rumah Gus Idris?” ,tanyanya Si Tamu.
“Benar, disini rumah Gus Idris. Kalau boleh tahu Bapak ada
perlu apa ya?” jawab santri.
Sempat terlintas di benak santri kalau tamu tersebut adalah
peminta sumbangan.
Si Tamu menjawab, bahwa ia adalah musafir yang berkelana ke
banyak tempat. Maksud kedatangannya adalah untuk bersilaturahmi kepada Gus
Idris dan Abah beliau. Begitulah ia memperkenalkan diri namun tak menyebutkan
nama.
“Benar ini rumahnya Gus Idris, tapi beliau sedang sakit.
Beliau sedang istirahat di kamar. Jika masih ingin tetap bertemu dengan Gus, mungkin
anda bisa kembali besok.” jawab santri sambil memandang dengan penuh selidik.
“Jika demikian berarti saya tidak bisa bertemu dengan Gus
Idris dan Abahnya?” tanyanya Si Tamu lagi.
“Mohon maaf, tidak bisa Pak kalau bertemu dengan Gus. Kalau dengan
Abahnya bisa.”
“Kalau begitu titip salam saja kepada Gus dan Abah”, kata Si
Tamu.
“Insya allah Pak”, ucap santri mencoba menutup pembicaraan.
Lalu, santri bergegas begitu saja memindahkan ember yang
tadi.
Setelah memindahkan ember, santri kembali terkejut sebab Si
Tamu sudah tidak ada di tempat. Dan ia semakin terkejut manakala yang ia lihat
di teras rumah malah Gus Idris. Di ambang teras, Gus Idris berdiri dengan wajah
mengkerut mengenakan sweater dan
celana pangsy. Santri dilanda
kebingungan, sederet pertanyaan pun berkecamuk. Bagaimana bisa Gus Idris yang
tengah sakit tiba-tiba keluar kamar dan sudah berdiri di hadapannya. Padahal
tadi beliau tak sanggup mengikuti pengajian. Lalu kemana pula perginya tamu
tadi?? Datang tak diundang pergi tak permisi.
“Tadi saya dengar ada tamu datang?” Gus Idris bertanya pada
santri dengan sorotan mata yang tajam.
(jika tak sedang tidur
pastinya Gus Idris mendengar jelas percakapan santri dan tamu, posisi kamar Gus
kala itu bersebelahan dengan teras rumah
yang pembatasnya hanya kayu triplek.)
“Iya betul Gus, tadi ada tamu. Hanya saja dia mau bertemu
dengan Gus”, jawab santri masih belum bisa menyembunyikan keterkejutannya.
“Trus kemana orangnya?”, tanya Gus Idris.
“Saya suruh dia kembali lagi besok, Gus” Jawab Santri.
(Muka Gus Idris
berubah tak pelak dan santri kena semprot.)
“Kamu tidak boleh begitu sama tamu. Sekarang cari dan kejar
orangnya!!”
Santri langsung mengejar orang tersebut hingga ke ujung
desa. Kebetulan, ada beberapa jamaah pengajian di ujung desa yang tengah duduk
dan ngobrol dengan masyarakat. Santri pun bertanya tentang perihal tamu yang
tadi namun tak seorang pun dari mereka yang melihat ada orang yang masuk atau
keluar desa ini.
Kebetulan ujung desa tempat mereka duduk-duduk dan ngobrol
tadi merupakan satu-satunya titik akses keluar-masuk desa. Jiakalu ada yang
keluar-masuk desa pasti mereka tahu terlebih dahulu.
Meski masih penasaran, santri tersebut berlari kembali
menuju pondok dengan harapan mudah-mudahan bertemu dengan Si Tamu. Namun orang
yang dicarinya tak ada. Akhirnya, santri pun kembali ke rumah Gus Idris dan
memberitahu bahwa tamu tersebut tidak berhasil ditemukan.
Di teras rumah, Gus Idris masih berdiri termangu. Wajahnya
juga masih kelabu. Beliau tarik nafas dalam-dalam lalu menasehati santri, crew
dan pengurus agar di kemudian hari tak perlu lagi ada proteksi berlebihan dan
jangan ada keputusan yang sepihak bagi para tamu.
Sumber :
Isi cerita dari buku “Jalan Menuju Surga” Bab Karomah
Penulis : Mustika Aprilia